SUMATERA,FILALIN.COM, –Banjir dan longsor besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 24 November 2025 menimbulkan dampak katastrofik. Ribuan rumah rusak, puluhan ribu warga mengungsi, jaringan komunikasi lumpuh, dan korban jiwa terus bertambah. Di tengah situasi ini, perempuan, anak, lansia, penyintas disabilitas, ibu hamil dan menyusui merupakan kelompok yang menanggung beban paling berat namun sering terabaikan dalam penanganan bencana.
Koalisi Lembaga Perempuan dan Kelompok Rentan Terdampak Banjir Sumatra — yang terdiri dari Konsorsium PERMAMPU (Flower Aceh, PESADA-SUMUT, LP2M Sumbar) dan Institut KAPAL Perempuan — mengeluarkan pernyataan pers menuntut pemerintah menetapkan bencana ini sebagai Bencana Nasional serta mempercepat respon yang lebih inklusif.
Dampak Parah di Tiga Provinsi
Di Aceh, sedikitnya 35 orang meninggal dunia dan 25 hilang. Total 27.568 KK atau 97.384 jiwa terdampak, dengan Aceh Timur menjadi wilayah terparah. Akses jalan dan jembatan, termasuk jalur nasional, banyak yang terputus.
Di Sumatera Utara, laporan Polda Sumut mencatat 147 orang meninggal dunia, 32 luka berat, 722 luka ringan, dan 174 orang masih hilang. Lebih dari 28 ribu warga, termasuk perempuan dan kelompok rentan di kawasan miskin, kini mengungsi di posko seadanya. Pemadaman listrik, terputusnya akses pangan, BBM, hingga komunikasi masih meluas.
“Warga dibiarkan menghadapi banjir dan longsor tanpa informasi yang jelas tentang ancaman siklon tropis, jalur evakuasi, dan lokasi pengungsian,” kritik Dina Lumbantobing, perwakilan PERMAMPU.
Di Sumatera Barat, data Jemari Sakato mencatat 75 meninggal dunia, 81 hilang, dan lebih dari 69 ribu warga mengungsi. Sedikitnya 9.038 rumah terdampak dan sejumlah fasilitas publik rusak. Banyak penyintas, terutama di Kota Padang, masih bertahan di pengungsian karena rumah mereka belum dapat ditempati.
Perempuan Pikul Beban Berlapis
Laporan dari koalisi menunjukkan perempuan menghadapi risiko berlapis: kehilangan sumber pendapatan, mengurus anak dan lansia tanpa dukungan memadai, hingga keterbatasan akses kebutuhan dasar.
“Banyak perempuan yang hidup dari penghasilan harian kehilangan mata pencaharian seketika ketika banjir datang. Sementara kebutuhan keluarga justru meningkat,” ujar Risnawati Okinawa dari Flower Aceh.
Fasilitas pengungsian dinilai belum ramah perempuan, anak, lansia, dan penyintas disabilitas. Sanitasi buruk, minim ruang aman, ketersediaan pembalut, popok, dan kebutuhan pangan bergizi sangat terbatas. Risiko kekerasan berbasis gender juga meningkat, sementara jalur pelaporan belum jelas.
Seruan Koalisi: Tetapkan Bencana Nasional, Percepat Respon Inklusif
Koalisi menyampaikan tujuh tuntutan utama, antara lain:
1. Menetapkan banjir Sumatra sebagai Bencana Nasional, agar koordinasi, logistik, dan pendanaan dapat dimobilisasi cepat dan terukur.
2. Memprioritaskan pencarian orang hilang dan evakuasi warga terisolasi dengan dukungan memadai.
3. Memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan spesifik perempuan serta kelompok rentan, termasuk layanan kesehatan reproduksi dan dukungan psikososial.
4. Menjamin perlindungan dari kekerasan berbasis gender dalam situasi pengungsian.
5. Melibatkan organisasi perempuan dan komunitas lokal sebagai mitra setara dalam seluruh proses penanganan bencana.
6. Membuka transparansi data dan anggaran penanganan bencana secara berkala.
7. Membangun strategi pemulihan berkeadilan gender dan berperspektif krisis iklim.
Pernyataan Narasumber: Ulfa Kasim — Institut KAPAL Perempuan
Menegaskan urgensi penanganan berbasis inklusi, Ulfa Kasim, perwakilan Institut KAPAL Perempuan sekaligus narahubung koalisi, mengatakan:
“Situasi di lapangan sangat memprihatinkan. Banyak perempuan dan kelompok rentan yang tidak terdata, tidak menerima bantuan memadai, dan tidak memiliki tempat aman. Negara harus bergerak cepat dan melibatkan organisasi perempuan yang selama ini bekerja langsung bersama warga. Tanpa respon yang inklusif dan terkoordinasi, kelompok paling rentan akan terus terabaikan.”
Ia menambahkan bahwa jaringan komunitas perempuan di Aceh, Sumut, dan Sumbar menjadi garda terdepan mengevakuasi warga, mengoperasikan dapur umum, dan mengumpulkan data, namun pekerjaan mereka tidak bisa menggantikan kewajiban negara.
Koalisi Ajak Publik Mengawasi Penanganan Bencana
Koalisi meminta masyarakat dan media untuk terus mengawasi penanganan bencana agar tidak ada penyintas yang tertinggal, terutama perempuan dan kelompok rentan yang selama ini paling terdampak namun paling sedikit dilibatkan dalam pengambilan keputusan. (*)












