JAKARTA,FILALIN.COM, — Di sebuah aula modern di pusat Jakarta, pada Kamis siang yang biasa saja, sebuah langkah luar biasa diambil. Tak banyak tepuk tangan, tak ada sorotan berlebihan, tapi hari itu menjadi penanda awal dari sesuatu yang bisa mengubah wajah Indonesia—sebuah ekosistem kecerdasan buatan yang lahir dari tanah sendiri.
Program itu bernama Semesta AI.
Di balik layar, nama besar seperti Lintasarta—anak usaha dari Indosat Ooredoo Hutchison—bekerja sama dengan raksasa global NVIDIA, meluncurkan inisiatif ini. Tujuannya sederhana namun ambisius: menciptakan ruang bagi anak-anak bangsa untuk membangun solusi berbasis AI yang bukan hanya hebat, tapi juga relevan dengan kebutuhan lokal.
Bayu Hanantasena, CEO Lintasarta, berdiri tenang di atas panggung. Ia tidak sekadar bicara tentang teknologi, tetapi tentang masa depan. “Kami tidak hanya ingin mempercepat pengembangan AI, kami ingin memberdayakan generasi baru pembawa perubahan,” ujarnya. Bukan jargon, tapi keyakinan.
Dari Garasi ke Panggung Teknologi
Indonesia bukan kekurangan talenta. Di sudut-sudut kota, di balik layar laptop-laptop tua, banyak ide brilian lahir dari ruang sempit. Tapi mereka sering kesulitan naik panggung. Tak punya akses ke komputasi canggih, tak punya mentor, tak punya relasi..
Semesta AI datang sebagai jembatan.
Sejak dibuka akhir 2024, lebih dari 150 startup dari berbagai daerah mendaftar. Setelah seleksi ketat, 20 startup terpilih menjalani mentoring intensif. Sementara 30 lainnya akan mendapat pendampingan teknis lanjutan. Semua difasilitasi, dipersiapkan untuk menghadapi dunia nyata.
Lebih dari sekadar pelatihan, mereka mendapat akses ke teknologi GPU NVIDIA, pendampingan profesional, hingga voucher GPU Merdeka senilai 15.000 dolar untuk proyek terbaik. Inilah bentuk nyata dari kolaborasi yang sehat antara industri global dan potensi lokal.
Teknologi yang Tidak Elitis
Irene Umar, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif RI, menyebut peluncuran ini sebagai tonggak penting. Ia menolak melihat AI sebagai sesuatu yang eksklusif, hanya milik segelintir orang di Silicon Valley. “AI harus inklusif, beretika, dan punya makna bagi masyarakat. Itulah yang kami dukung,” tegasnya.
Bayangkan jika rumah sakit kecil di daerah terpencil bisa menggunakan AI untuk deteksi dini penyakit. Atau jika petani bisa memprediksi cuaca lewat teknologi pintar buatan lokal. Semesta AI ingin menghadirkan itu—AI yang tidak berjarak dengan rakyatnya. (*)