MAKASSAR, FILALIN.COM – Kakao (KKO) kembali menjadi perhatian penting dalam perekonomian Sulawesi. Kepala OJK Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Moch. Muchlasin, menegaskan bahwa meski menghadapi tantangan penurunan lahan dan produktivitas, komoditas kakao Indonesia masih menyimpan potensi besar di pasar global.
“Indonesia adalah salah satu dari tiga produsen kakao terbesar di dunia. Dari total produksi 6,2 juta ton, sekitar 65 persen dihasilkan dari kawasan Sulawesi, termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara,” ujar Muchlasin dalam paparannya.
Potensi Besar, Tantangan Tidak Kecil
Di Sulawesi sendiri terdapat sekitar 780 ribu petani kakao yang menggantungkan hidup pada komoditas ini. Namun, Muchlasin menyebutkan adanya tren penurunan produktivitas akibat berkurangnya luas lahan, alih fungsi kebun, hingga harga jual yang kerap tidak stabil.
“Kalau harga internasional turun, dampaknya langsung dirasakan oleh petani. Sementara konsumsi domestik kita masih rendah. Orang jarang membeli cokelat untuk dikonsumsi di rumah, lebih banyak untuk oleh-oleh ketika bepergian,” jelasnya.
Konsumsi Lokal Masih Lemah
Muchlasin juga menyoroti lemahnya pasar domestik kakao, khususnya di Sulawesi Selatan. Produk cokelat lokal lebih banyak diekspor ketimbang dipasarkan di dalam negeri. Akibatnya, ada ironi di mana kakao dari Sulawesi diekspor ke luar negeri, lalu dijual kembali sebagai produk olahan cokelat yang kemudian dibeli wisatawan asal Sulawesi ketika berkunjung ke negara lain.
“Bisa jadi cokelat yang kita beli di Singapura sebenarnya berasal dari kakao kita sendiri,” ucap Muchlasin.
Sinergi dengan Pariwisata
Menurutnya, pengembangan industri kakao harus disinergikan dengan sektor pariwisata agar bisa menjadi daya tarik baru bagi wisatawan. Ia mencontohkan Bali dan Lombok yang berhasil menjadikan produk lokal sebagai bagian dari pengalaman wisata.
“Sulawesi Selatan masih kalah dalam menjual daya tarik produk kakao dibandingkan daerah lain. Ke depan, ini bisa menjadi peluang untuk membangun ekosistem ekonomi yang lebih kuat,” tambahnya.
Dengan kebutuhan global kakao yang masih mencapai 9 juta ton per tahun, Muchlasin menegaskan bahwa Indonesia—khususnya Sulawesi—masih memiliki ruang besar untuk memperkuat peran sebagai pemasok utama dunia. (*)