MAKASSAR,FILALIN.COM – Fenomena akun TikTok yang menampilkan mahasiswa “tercantik” dan “terganteng” dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan,seperti UIN Alauddin Makassar, UNM, dan Unhas,terus menjadi tren viral. Namun, di balik popularitas tersebut, muncul kekhawatiran serius mengenai dampak negatif terhadap kesehatan mental mahasiswa. Fenomena ini tidak hanya memicu rasa insecure dan FOMO, tetapi juga membuka persoalan pelanggaran privasi yang semakin kompleks.
Fenomena perbandingan fisik di media sosial tidak hanya sebatas persoalan tren digital. Dikutip dari penelitian meta-analisis yang dipublikasikan dalam jurnal Body Image (2025), paparan konten visual di media sosial terbukti mendorong perilaku social comparison yang berkaitan erat dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap tubuh serta munculnya gejala gangguan makan. Penelitian tersebut menegaskan bahwa semakin intens individu membandingkan penampilan dirinya dengan orang lain di media sosial, semakin tinggi risiko gangguan kesehatan mental, khususnya yang berkaitan dengan citra tubuh. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dimuat dalam Jurnal Acta Psychologia (2023), yang menunjukkan bahwa perbandingan sosial berpengaruh signifikan terhadap pembentukan citra tubuh pada mahasiswi. Studi tersebut menjelaskan bahwa kebiasaan membandingkan diri dengan standar visual yang ditampilkan di media sosial berdampak terhadap rendahnya penerimaan diri serta meningkatnya rasa insecure.
Dosen Jurnalisme Gender UIN Alauddin Makassar, Rahmawati Latief, M.Soc.Sc., menilai bahwa konten semacam ini menciptakan ruang bagi munculnya narsisme, komodifikasi tubuh, serta eksploitasi visual, baik terhadap laki,laki maupun perempuan. Selain itu, ia menekankan bahwa fokus utama dampak negatifnya terlihat pada aspek kesehatan mental mahasiswa. Dimana mahasiswa mulai membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang ditampilkan dalam konten tersebut. Akibatnya, rasa tidak percaya diri pun muncul karena standar kecantikan yang dibangun cenderung tidak realistis.
Seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Ermi, menyampaikan keberatannya. Ia menilai bahwa akun-akun ini bukan hanya tidak perlu, tetapi juga berpotensi memperkuat standar kecantikan yang keliru.
“Itu justru menimbulkan,mungkin akan menimbulkan,standar kecantikan atau standar cakep seseorang. Jadi, menurut saya pribadi, saya tidak setuju untuk ada akun-akun seperti itu karena itu akan menimbulkan standar kecantikan yang lebih… yang lebih tidak normal.” Ujarnya. (Wawancara Langsung, Minggu 16/11/2025)
Sebagian mahasiswa memang tidak merasa insecure karena menganggap kecantikan itu relatif. Akan tetapi, kondisi ini justru dapat memicu rasa “lebih unggul” bagi sebagian lainnya yang merasa lebih cantik atau tampan daripada orang yang ditampilkan, sehingga menciptakan hierarki sosial yang tidak sehat.
Selain persoalan psikologis, tren ini juga menghadirkan persoalan etika dan hukum. Banyak mahasiswa tidak mengetahui bahwa foto mereka diambil, dikirim, lalu diunggah tanpa persetujuan.
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar, Yoga Saputra, bahkan pernah menjadi korban langsung. Wajahnya diunggah tanpa izin, padahal foto tersebut diambil dari akun media sosial pribadinya.
Ia menjelaskan bahwa pelanggaran privasi yang terjadi bersifat berlapis. Pertama, ada pihak yang mengambil fotonya tanpa izin. Kedua, admin akun mengunggah foto tersebut tanpa memverifikasi apakah foto itu disetujui pemiliknya.
“Adminnya juga melanggar privasi karena mereka tidak tahu bahwa ini belum atas dasar persetujuan saya, tetapi tetap meng-upload atas dasar permintaan orang yang mencuri foto saya tadi. Jadi berlapis pelanggarannya dan ini justru membahayakan bagi masa depan digital mahasiswa itu sendiri.” Ujarnya (Wawancara Langsung, Rabu 10/12/2025)
Yoga menyarankan agar admin akun lebih mempertimbangkan dampak psikologis dan hukum dari konten yang mereka unggah. Ia juga berharap pihak kampus, khususnya UIN Alauddin Makassar, dapat memediasi agar tidak terjadi pencemaran nama institusi akibat konten yang berpotensi merugikan mahasiswa.
Sementara itu, Ermi menawarkan solusi yang lebih konstruktif. Ia mengusulkan agar akunakun tersebut beralih menampilkan prestasi mahasiswa, bukan sekadar menonjolkan fisik.
“Daripada buat akun standar kecantikan seperti itu, mending buat akun yang menampilkan prestasinya seseorang. Biar kita juga termotivasi untuk ikut berprestasi.” Tambah Ermi
Seharusnya fokus konten yang ditampilkan ialah berupa pencapaian akademik maupun nonakademik dimana dalam hal ini media sosial kampus harus bertujuan menjadi ruang yang lebih sehat, inspiratif, dan suportif terutama bagi pelajar mahasiswa.
(*/Ryan Ramdani, Mahasiswa Jurnalistik,UIN Alauddin Makassar)












