MAKASSAR,FILALIN.COM, Beberapa hari terakhir, pikiranku penuh dengan rencana: mencari rumah murah untuk dibeli. Dana sudah tersedia di ATM, cukup untuk membeli rumah subsidi secara tunai. Sudah ada beberapa pilihan, tinggal proses negosiasi dan deal. Rasanya mimpi kecil itu sudah begitu dekat.
Namun pagi itu, sepulang dari masjid, segalanya berubah.
Aku membuka WhatsApp dan melihat banyak panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari seorang teman lama: Sri Ayutias—seorang perempuan Batak, non-Muslim, yang telah lama tinggal di Makassar dan mengelola panti asuhan kecil.
> “Pak, bisa minta tolong?”
“Pak, bisa saya telpon?”
“Pak, perlu bicara sebentar aja.”
Pesan-pesan itu terasa mendesak. Aku langsung menelpon balik.
Di ujung sana, suara Sri terdengar gemetar. Ia menceritakan bahwa salah satu anak panti asuhannya sedang sakit keras dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Mereka tak punya cukup dana. Aku tahu, ini bukan permintaan biasa.
Tapi ternyata, itu baru permukaan dari masalah yang lebih besar.
Sri lalu bercerita—kontrak rumah tempat mereka tinggal telah habis. Mereka diberi waktu satu minggu untuk segera membayar, atau harus angkat kaki. Dana yang mereka miliki jauh dari cukup untuk membayar kontrakan setahun.
Kupikir sejenak. Lalu aku berkata,
“Sri, tunggu. Aku akan bantu semampuku.”
Setelah telpon kututup, aku mulai bergerilya. Aku hubungi relasi: para pengusaha, pejabat, aktivis sosial, dan teman-teman lama. Kupaparkan keadaan panti asuhan itu, kusampaikan betapa mendesaknya situasi.
Respon mereka luar biasa. Banyak yang siap berdonasi. Bahkan ada yang menawarkan rumah kosongnya untuk dipakai sementara. Tapi tak lama kemudian, Sri kembali menghubungi dengan suara berat:
> “Pak, anak-anak sudah terlalu nyaman di rumah ini. Mereka udah anggap ini rumah beneran. Kalau pindah, mereka pasti sedih. Mereka udah peluk-peluk tiang rumah ini tiap malam, Pak…”
Aku terdiam. Saat itu aku sadar, ini bukan sekadar bangunan. Ini rumah dalam arti sebenarnya—tempat rasa aman tinggal, tempat harapan dibangun ulang, tempat mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu.
Akhirnya aku ambil keputusan besar:
Rumah ini harus dipertahankan. Kita perjuangkan untuk dibeli. Kita buka donasi.
Kami mulai negosiasi. Pemilik rumah setuju menjual dengan harga miring dan pelunasan bertahap. Syaratnya: ada DP sebagai tanda jadi.
Aku buka kembali aplikasi rekeningku. Dana yang sejak awal kuseiapkan untuk beli rumah sendiri—kini terasa memanggil untuk hal yang lebih besar. Hari itu, aku tarik uang dari ATM dan menjadikannya DP pembelian rumah anak-anak panti itu.
Aku batal membeli rumah.
Tapi anehnya, tak ada rasa kecewa. Justru hatiku penuh. Ada rasa pulang yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Donasi masih berjalan. Proses pelunasan masih berlanjut. Tapi fondasinya sudah berdiri: rumah itu, kini bukan sekadar tempat. Ia adalah lambang cinta banyak orang, hasil dari tangan-tangan yang bergerak karena satu hal—kepedulian.
Hari itu, aku belajar satu hal:
Kadang, rumah yang kita bangun… bukan untuk kita tinggali.
Tapi untuk jadi tempat tinggal harapan orang lain.
Dan di situlah, kita sebenarnya pulang.