Pemuda Asal Gowa Produksi Alat Musik Tradisional: Usaha Kreatif yang Lestarikan Budaya Lokal

0-3248x1440-0-0#

MAKASSAR,FILALIN.COM, – Di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi, masih ada generasi muda yang tetap berkomitmen menjaga warisan budaya lokal. Salah satunya adalah Muh. Yusuf, pemuda berusia 27 tahun yang akrab disapa Hendri. Ia berasal dari Desa Kanjilo, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, dan telah delapan tahun terakhir menekuni usaha pembuatan alat musik tradisional khas Gowa.

 

Usaha kreatif ini dimulai sejak Hendri masih duduk di bangku SMA. Berbekal ketekunan dan bakat seni yang dimilikinya, ia mulai memproduksi alat musik tradisional secara mandiri. Kini, dengan bantuan enam orang rekannya, Hendri mampu memproduksi berbagai jenis alat musik seperti kacaping, pui-pui, biola, keso-keso, hingga seruling.

 

“Awalnya saya hanya coba-coba membuat kacaping sendiri di rumah, karena memang saya suka musik tradisional sejak kecil. Lama-lama teman-teman mulai tertarik, dan akhirnya saya serius jadikan ini sebagai usaha,” ungkap Hendri saat ditemui di bengkel kerajinannya.

 

Hendri merupakan alumni Seni Rupa Universitas Negeri Makassar (UNM). Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga pengrajin furnitur, yang memperkaya keterampilannya dalam mengolah kayu dan bahan-bahan lain menjadi produk berkualitas. Namun, berbeda dari usaha orang tuanya yang fokus pada perabotan rumah tangga, Hendri memilih jalur seni musik sebagai bentuk pengabdian terhadap budaya daerah.

 

“Buat saya, alat musik tradisional itu bukan cuma barang, tapi identitas kita sebagai orang Gowa. Kalau bukan kita yang lestarikan, siapa lagi?” tambahnya.

 

Setiap bulannya, tim kecil Hendri mampu memproduksi hingga 15 unit alat musik. Untuk kacaping dan biola, ia membanderol harga Rp450.000 per buah. Pemasaran masih dilakukan secara sederhana, yakni melalui media sosial dan jaringan teman ke teman. Meski begitu, respon pasar cukup positif, terutama dari kalangan pecinta musik tradisional dan komunitas seni di Sulawesi Selatan.

 

Namun, Hendri tidak menampik bahwa tantangan tetap ada. Salah satunya adalah keterbatasan modal untuk pengembangan usaha. Ia berharap ke depannya bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah maupun pihak swasta untuk memperluas produksi dan memperkenalkan alat musik tradisional Gowa ke pasar yang lebih luas.

 

“Saat ini kami masih terbatas dari segi alat dan tempat produksi. Kalau ada bantuan modal atau pelatihan manajemen usaha, itu akan sangat membantu kami untuk naik kelas,” ujarnya.

 

Komitmen Hendri dalam melestarikan budaya lewat karya nyata ini layak diapresiasi. Di tengah menurunnya minat generasi muda terhadap budaya lokal, kehadiran sosok seperti Hendri menjadi inspirasi bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan kemajuan zaman — selama ada semangat dan kreativitas untuk terus merawatnya. (*)