SELAYAR,FILALIN.COM, Pagi baru saja menyapa Desa Polebungin , sebuah desa kecil di Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Kabut masih menggantung rendah di atas ladang, dan suara ayam bercampur dengan denting sendok di dapur-dapur rumah panggung yang hangat. Namun ada yang berbeda dari pagi-pagi ini. Jika beberapa tahun lalu pagi di sini hanya diisi hiruk-pikuk pertanian dan anak-anak berjalan kaki ke sekolah, kini terdengar notifikasi dari ponsel pintar, suara Zoom meeting dari ruang tamu, dan anak-anak berceloteh soal video YouTube edukatif yang baru mereka tonton.
Di sudut desa,Suhartini , seorang tenaga nakes di puskesmas yang telah mengabdi selama 10 tahun, sedang bersiap memulai bekerja dengan melayani masyarakat yang hendak berobat atau memeriksakan kesehatannya serta membuat rekap untuk laporan ke kantor kabupaten. Dulu, ia harus berjalan hingga ke puncak bukit, menantang terik dan angin hanya demi sinyal. Tapi kini, dengan jaringan internet cepat berbasis HIFI dari Indosat yang baru masuk tahun lalu, ia bebas mengakses informasi dan mengirim laporan tanpa kendala. Dengan HIFI Air ,Suhartini tidak hanya lancar bekerja di kantornya tapi dari teras rumah, ditemani secangkir teh hangat dan suara jangkrik dari ladang seberang dia bisa melayani konsultasi masyarakat soal kesehatan.

Sebuah Awal dari Sinyal yang Datang Terlambat
Dulu, Polebungin adalah desa yang terpinggirkan secara digital. Akses internet sangat terbatas. Sinyal ponsel seringkali hanya tersedia di satu titik—itulah tempat favorit warga untuk berdiri berjam-jam demi mengirim pesan atau mengunggah tugas sekolah.
“Kadang kami harus naik motor ke kota hanya untuk kirim email lamaran kerja,” cerita Rahmat, pemuda setempat. “Itu pun belum tentu berhasil.”
Namun semua berubah ketika pemerintah desa, bersama Indosat dan program Desa Digital Cerdas, membangun infrastruktur koneksi berbasis fiber dan memperkuat jangkauan jaringan seluler cepat. Bukan hanya sinyal yang datang, tapi juga harapan.
Menanam Teknologi di Tanah Tradisi
Di lahan pertanian milik Sudirman, seorang petani muda berusia 27 tahun, kini berdiri papan kecil bertuliskan: “Kami Menerima Pesanan Online – Sayur Organik Langsung dari Ladang.”
Sudirman bukan petani biasa. Ia adalah salah satu yang pertama memanfaatkan internet cepat untuk memasarkan hasil tanamannya secara digital. Ia belajar memotret produk, menulis deskripsi menarik, dan mengunggahnya ke media sosial serta platform jual-beli. Awalnya ia dibantu relawan digital, tapi kini ia mengelola semua sendiri.
“Dulu saya pikir jualan online cuma untuk anak kota. Tapi ternyata, orang kota justru cari yang alami, segar, dan langsung dari petani seperti saya,” ujarnya sambil tertawa.
Kini, pembeli dari Makassar, Parepare, bahkan Jakarta, menjadi langganannya. Ia tak perlu meninggalkan ladang untuk menjangkau pasar yang luas. Internet menjembatani keterbatasan geografis dengan peluang digital.
Ketika Desa Menyala
Tokoh Masyarakat Desa Polebungin Nur Alim, menyebut ini sebagai era “penyalaan desa.” Ia melihat langsung bagaimana satu langkah kecil menuju digitalisasi bisa membangkitkan semangat besar warganya.
Mereka membangun warung digital desa—sebuah pusat layanan internet gratis yang menyediakan komputer, pelatihan dasar digital, dan bantuan administrasi online. Di tempat ini, ibu-ibu belajar belanja online dan membuat akun e-wallet, bapak-bapak belajar membaca prakiraan cuaca dan harga pasar melalui aplikasi pertanian, dan para remaja mulai belajar editing video untuk konten mereka.
“Yang paling mengharukan itu waktu ada lansia yang baru pertama kali video call dengan anaknya di Kalimantan. Ia menangis,” ujarnya . “Selama ini komunikasi mereka hanya lewat surat atau telepon suara.”
Tidak lama kemudian, sekolah dasar desa mendapat akses digital learning yang lebih baik. Siswa tidak hanya belajar dari buku, tapi juga dari video edukatif, tur virtual, dan konten interaktif yang membuat mereka semangat datang ke sekolah.
Mimpi Baru di Tengah Ladang
Polebungin bukanlah satu-satunya desa yang kini bertransformasi, tapi kisahnya mencerminkan mimpi yang dulu tak terbayangkan. Ketika koneksi internet cepat masuk ke desa, bukan hanya sinyal yang tiba—tapi juga kepercayaan diri, kesempatan, dan perubahan pola pikir.
“Dulu kami merasa desa itu tempat terakhir untuk teknologi. Tapi sekarang kami sadar, kami bukan tertinggal, hanya menunggu giliran,” ucap Suhartini si Bidan desa, sambil memandangi pasien yang kini juga banyak melek tekhnologi.
Bagi warga desa, internet bukan soal hiburan, tapi soal keterhubungan—dengan dunia, dengan keluarga jauh, dengan informasi, dan dengan masa depan.
Bukan Sekadar Digital, Tapi Manusiawi
Tentu, masih banyak tantangan: keterbatasan perangkat, biaya kuota, dan kebutuhan pelatihan lanjutan. Tapi keberhasilan awal ini menunjukkan bahwa transformasi digital bukan soal alat semata, tapi juga soal niat, kolaborasi, dan kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat lokal.
Program Desa Digital Cerdas yang digagas pemerintah dan mitra swasta seperti Indosat memberikan model yang bisa direplikasi. Internet cepat menjadi jembatan nyata dari ketimpangan menuju keadilan akses informasi.
“Buat kami, ini bukan soal bisa nonton TikTok atau update status,” tegas Rahmat. “Ini tentang bisa bersaing. Bisa bermimpi lebih tinggi.”
Menuju Indonesia yang Terkoneksi
Polebungin adalah contoh bahwa desa-desa Indonesia bukan hanya tempat yang tertinggal, tapi juga ladang inovasi jika diberikan kesempatan. Di sana, sinyal bukan sekadar teknologi, tapi simbol dari mimpi yang mulai nyata.
Dan dari desa seperti inilah, kita percaya bahwa masa depan Indonesia tidak hanya dibangun dari kota-kota besar, tapi juga dari lorong kecil, ladang luas, dan rumah-rumah panggung yang kini bersinar dalam cahaya layar digital. (*)