Pemprov Sulsel Dorong Indeks Perlindungan Anak Masuk IKU Kepala Daerah, Cegah Perkawinan Anak Hingga 2030

0-0x0-0-0-{}-0-0#

MAKASSAR,FILALIN.COM, —Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Selatan, Andi Mirna, menegaskan pentingnya pencegahan perkawinan anak sebagai bagian dari agenda pembangunan daerah, bukan sekadar persoalan keluarga. Hal tersebut disampaikannya saat membuka Lokakarya Pertukaran Pengetahuan dan Pembelajaran Program BERANI II Sulawesi Selatan yang digelar di Hotel Four Points by Sheraton Makassar, Kamis (18/12).

Andi Mirna menjelaskan, penetapan target hingga 2030 sejalan dengan berakhirnya RPJMD Provinsi Sulsel serta RPJMD 24 kabupaten/kota. Oleh karena itu, upaya perlindungan anak, termasuk pencegahan perkawinan anak, harus masuk dalam perencanaan dan penganggaran daerah.

“Saya selalu menyuarakan agar Indeks Perlindungan Anak masuk dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Kepala Daerah. Kalau hanya masuk indikator daerah, sering kali kurang diperhatikan. Tapi kalau masuk IKU, kepala daerah langsung bertanggung jawab kinerjanya ke Presiden,” tegas Andi Mirna.

Ia menambahkan, pencegahan perkawinan anak merupakan bagian dari agenda pembangunan nasional dan selaras dengan visi pembangunan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Dalam kesempatan tersebut, Andi Mirna juga menyoroti ancaman serius yang kini dihadapi anak-anak, mulai dari perdagangan orang (TPPO) hingga radikalisme dan terorisme. Ia mengungkapkan adanya temuan anak-anak di Sulsel yang terdeteksi berpotensi terpapar paham ekstrem.

“Ini sangat berbahaya. Perkawinan anak bukan hanya soal usia menikah, tapi berdampak luas pada pendidikan, kemiskinan ekstrem, kesehatan ibu dan anak, hingga keamanan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Perwakilan UNICEF Sulawesi–Maluku, Hendra Widjaja, menegaskan bahwa batas usia perkawinan minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan menjadi tolok ukur penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Hendra memaparkan, meskipun isu perkawinan anak tidak disebutkan secara eksplisit dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), namun seluruh indikator SDGs terkait hak anak—pendidikan, kesehatan, identitas, dan perlindungan—memiliki keterkaitan erat dengan praktik perkawinan anak.

“Perkawinan anak berkontribusi hingga 40 persen terhadap angka stunting, meningkatkan risiko lima kali lipat kematian ibu saat persalinan, serta menyebabkan 85 persen anak putus sekolah,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti sulitnya anak yang telah menikah di usia dini untuk kembali menuntaskan pendidikan, termasuk melalui jalur pendidikan kesetaraan.

Direktur Eksekutif YASMIB, Rosniaty Panguriseng, menyebut lokakarya ini sebagai ruang pembelajaran bersama yang diharapkan menjadi inspirasi bagi daerah lain di Sulawesi Selatan maupun nasional.

“Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid agar partisipasi lebih luas dan inklusif, melibatkan pemerintah provinsi serta 24 kabupaten/kota, dengan tema BERANI II Sulawesi Selatan Cegah Perkawinan Anak: Bukti Terkini Menuju Komitmen 2030,” jelas Rosniaty.

Ia berharap forum ini tidak hanya menghasilkan rekomendasi, tetapi juga keberanian dan langkah nyata untuk melindungi anak-anak, termasuk menghadapi tantangan perkawinan siri yang kian marak.

Sebagai penutup rangkaian kegiatan, dilakukan pembacaan Deklarasi Anak Sulawesi Selatan serta penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah, instansi, dan organisasi terkait sebagai bentuk komitmen bersama dalam pencegahan perkawinan anak.

“Setiap anak yang terlindungi hari ini adalah masa depan Sulawesi Selatan yang kita jaga bersama,” pungkas Rosniaty. (*)