Tolak Pembangunan Masjid, Sejumlah Warga di Korsel Gelar Pesta Makan Babi

Tolak Pembangunan Masjid, Sejumlah Warga di Korsel Gelar Pesta Makan Babi
Spanduk pesta makan daging babi di depan lokasi pembangunan masjid.

Filalin, Korea Selatan – Sejumlah warga menolak pembangunan masjid di wilayah Daehyeon-dong, Daegu, Korea Selatan. Mereka menggelar pesta makan daging babi tepat di depan proyek pembangunan masjid tersebut.

Sejumlah warga yang menolak menamakan diri sebagai ‘Komite Anti Masjdi Daegu’.

“Jika pemilik lahan ingin kami menghormati budaya mereka, budaya kami juga harus dihormati,” kata salah warga dilansir dari The Korea Herald, Jumat (3/2/2023).

Baca Juga: Terjadi Lagi, Alquran Dibakar di Depan Masjid Kopenhagen Denmark

Permasalahan ini bermula pada tahun 2020. Saat itu, pemerintah setempat menyetujui pembangunan masjid di dekat Universitas Nasional Kyungpook. Alasan pendirian masjid itu sebab banyak mahasiswa asing muslim yang tak memiliki rumah ibadah.

Namun, proyek pembangunan masjid menjadi bahan perdebatan. Akhirnya, kantor Distrik Buk di Daegu mengeluarkan perintah administratif untuk menghentikan pembangunan masjid.

Pada September 2022, perintah itu dicabut setelah Mahkamah Agung memutuskan proyek tersebut sah. Akan tetapi, konflik terus berlanjut di mana sejumlah protes dengan menggunakan babi dilakukan.

Komite Anti Masjid Daegu sebelumnya sempat membuat heboh dengan gelar pesta BBQ babi di gang menuju lokasi pembangunan masjid. Seorang pemuda juga didenda 300.000 won (Rp 3,6 juta). Ia memprovokasi warga untuk membuang spanduk yang mendukung pembangunan masjid.

Baca Juga: Politisi Denmark Bakar Alquran saat Demonstrasi Anti-Turki di Swedia

Pemerintah distrik setempat telah mencoba mencari solusi konflik tersebut. Kantor Distrik Buk membeli properti dekat masjid, dan mengusulkan dua lokasi alternatif pembangunan masjid itu. Namun, pemilik tanah tempat masjid akan dibangun menolak gagasan tersebut.

Kelompok masyarakat lainnya dan para ahli telah menyuarakan keprihatinannya atas konflik itu.

“Perlu sikap mengakui perbedaan antara kedua belah pihak. Negara juga harus memainkan peran mediasi yang lebih aktif, sehingga mencegah salah satu pihak bertindak terlalu ekstrim,” kata Profesor Chung Yong-kyo dari Universitas Yeungnam.