MAKASSAR,FILALIN.COM.— PT Hadji Kalla menegaskan kembali posisi hukumnya terkait lahan seluas 16 hektare di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, menyusul pernyataan PT GMTD Tbk yang sebelumnya mengklaim penguasaan area tersebut. Dalam siaran pers resminya, KALLA menyampaikan sejumlah poin klarifikasi sekaligus bantahan.
Menurut Subhan Djaya Mappaturung, Chief Legal & Sustainability Officer KALLA, perusahaan telah menguasai fisik lahan tersebut sejak tahun 1993 dan mengantongi sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), lengkap dengan akta pengalihan hak. HGB itu juga dipastikan telah diperpanjang hingga tahun 2036.
KALLA menegaskan akan tetap melanjutkan proses pemagaran dan pematangan lahan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan proyek properti terintegrasi dengan konsep mixed-use. Proyek tersebut disebut sebagai bentuk konsistensi kontribusi KALLA dalam pembangunan Kota Makassar selama lebih dari tujuh dekade.
Perusahaan juga membantah klaim eksekusi lahan yang disebut-sebut oleh PT GMTD Tbk. KALLA menyebut pernyataan itu telah diluruskan oleh juru bicara Pengadilan Negeri Makassar serta mendapat bantahan dari BPN, yang menegaskan bahwa tidak pernah dilakukan konstatering terhadap objek yang dimaksud.
“Dengan bantahan tersebut, seharusnya pihak PT GMTD Tbk menunjukkan dengan jelas dan terang di mana lokasi lahan yang diklaim telah dieksekusi dan dikuasainya,” tegas Subhan dalam rilis tersebut.
KALLA juga memaparkan keterlibatannya dalam pengembangan kawasan Tanjung Bunga sejak akhir 1980-an melalui PT Bumi Karsa, mulai dari proyek normalisasi Sungai Jeneberang I–IV hingga pembangunan Waduk Tanjung Bunga. Pada periode itu, KALLA juga melakukan pembebasan lahan rawa seluas ±80 hektare untuk kebutuhan pembuangan material pengerukan, yang seluruhnya telah disertipikasi oleh BPN.
Menanggapi klaim GMTD yang menyebut perolehan lahan pihak lain pada 1991–1998 tidak sah, KALLA menyebutnya sebagai bentuk arogansi. “Yang menentukan sah tidaknya perolehan lahan adalah pemerintah, bukan GMTD dan bukan LIPPO,” ujar Subhan.
Dalam rilisnya, KALLA juga menyoroti perubahan struktur dan arah usaha PT GMTD Tbk setelah LIPPO masuk sebagai investor pada 1994. Arah bisnis yang sebelumnya difokuskan pada pengembangan kawasan pariwisata, berubah menjadi bisnis real estate, yang ditunjukkan melalui perkembangan ekosistem bisnis LIPPO di Tanjung Bunga seperti RS Siloam, Sekolah Dian Harapan, GTC, dan kawasan hunian.
KALLA menilai ada indikasi bahwa GMTD seolah digunakan sebagai “tameng” untuk melindungi tindakan pihak lain yang dinilai merugikan. “Terlihat adanya dugaan LIPPO menjadikan GMTD seolah-olah milik pemerintah daerah untuk dijadikan tameng dari tindakan yang sewenang-wenang,” tulis KALLA dalam siaran persnya. (*)












