Menuju 30%: Keterlibatan Perempuan dalam Politik Indonesia

MAKASSAR,FILALIN.COM, — Kesenjangan gender dalam keterlibatan perempuan di parlemen Indonesia merupakan masalah yang memerlukan perhatian serius, mengingat pentingnya representasi yang seimbang untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan adil bagi semua kelompok masyarakat. Partisipasi yang lebih besar dari perempuan di parlemen dapat membawa perspektif yang berbeda dan penting dalam proses legislasi. Perempuan dengan pengalaman hidup yang berbeda dari laki-laki dapat memberikan wawasan yang lebih lengkap tentang isu-isu seperti hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial yang sering kali diabaikan atau kurang terwakili dalam kebijakan yang didominasi oleh laki-laki. Selain itu, adanya lebih banyak perempuan di parlemen dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan legitimasi pemerintahan. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mencerminkan keberagaman suara dan perspektif dari seluruh masyarakat. Ketika parlemen diisi oleh anggota yang lebih beragam, keputusan yang diambil akan lebih inklusif dan representatif. Keterwakilan perempuan yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah, karena masyarakat akan merasa bahwa pemerintah benar-benar mewakili mereka dan peduli terhadap semua kelompok tanpa diskriminasi.

 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia mengalami peningkatan yang lambat namun konsisten dari tahun 2019 hingga 2023. Pada tahun 2019, persentase perempuan di parlemen mencapai 20,52%. Angka ini meningkat menjadi 21,09% pada tahun 2020, menunjukkan kenaikan sebesar 0,57%. Tren positif ini berlanjut pada tahun 2021 dengan persentase mencapai 21,89%, mencatat peningkatan sebesar 0,80% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada tahun 2022, terjadi sedikit penurunan ke 21,74%, meskipun penurunan ini tidak signifikan, hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan keterwakilan perempuan harus terus ditingkatkan dan didukung oleh berbagai pihak. Pada tahun 2023, angka keterwakilan perempuan di parlemen kembali meningkat ke 22,14%, memperlihatkan kenaikan sebesar 0,40% dibandingkan tahun 2022.

 

Secara keseluruhan, data ini menggambarkan bahwa meskipun ada kemajuan, keterwakilan perempuan di parlemen masih di bawah harapan. Peningkatan rata-rata sebesar kurang dari 1% per tahun menyoroti perlunya upaya yang lebih intensif dan berkelanjutan untuk mendukung perempuan dalam politik. Perempuan masih menghadapi banyak hambatan dalam dunia politik. Budaya patriarki yang kuat dan stereotip gender yang menganggap politik sebagai ranah laki-laki seringkali membuat perempuan diragukan kemampuannya. Selain itu, beban ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja membuat perempuan sulit mencurahkan waktu dan energi yang cukup untuk karier politik mereka. Kurangnya dukungan dari partai politik, baik dalam bentuk pelatihan, dukungan finansial, maupun penempatan strategis, juga membuat jalan mereka semakin sulit. Akses yang terbatas ke sumber daya penting seperti dana kampanye dan jaringan politik menghambat perempuan untuk menjalankan kampanye yang efektif. Lingkungan kerja politik yang tidak ramah perempuan, seperti rapat hingga larut malam yang meningkatkan risiko keamanan, menjadi disinsentif besar. Ditambah lagi, perempuan sering menjadi korban kekerasan dan intimidasi, baik fisik, verbal, maupun online, yang bisa menghalangi mereka untuk berpartisipasi aktif. Semua hambatan ini membuat keterwakilan perempuan di parlemen masih jauh dari ideal, dan memerlukan langkah konkret untuk mengatasinya.

 

Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dan mengatasi hambatan yang mereka hadapi, dibutuhkan upaya yang lebih terarah dan terus-menerus. Pertama, partai politik harus lebih aktif mendukung perempuan dengan memberikan pelatihan kepemimpinan, dukungan finansial, dan menempatkan mereka di posisi strategis. Selain itu, kebijakan afirmatif seperti kuota gender bisa membantu memastikan perempuan punya peluang yang adil untuk dipilih. Lingkungan kerja di parlemen juga perlu diubah agar lebih ramah perempuan, misalnya dengan menjadwalkan rapat pada waktu yang lebih aman dan mempertimbangkan keseimbangan kehidupan kerja. Masyarakat harus terus diberi pemahaman untuk menghapus stereotip gender yang menghalangi perempuan berpolitik. Perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan dan intimidasi, baik fisik maupun online, juga harus diperkuat dengan kebijakan yang tegas dan penerapan yang ketat. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa menciptakan politik yang lebih inklusif dan representatif dimana suara perempuan bisa terdengar dan berpengaruh secara setara. (*)

Penulis : Nur Azizah Herina

Mahasiswa: UIN Alauddin Makassar