MAKASSAR,FILALIN.COM, — Komite Pemantau Legislatif )KOPEL) Indonesia mempermasalahkan Anwar Usman yang masih mau duduk sebagai hakim konstitusi pasca putusan MKMK yang memutus dirinya terbukti melanggar kode etik berat dalam Perkara 90/PUU-XXI/2023. Meski hanya dicopot jabatannya sebagai ketua MK, harusnya Anwar Usman tau diri dengan putusan MKMK. Sebenarnya dia sudah tidak bersyarat lagi duduk sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi.
“Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konsititusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan negara”, Kata Herman Ketua KOPEL Indonesia.
“Syarat itu sudah dijelaskan dalam konstitusi kita UUD 1945 pasal 24 C ayat 5 syarat umum seseorang dapat diangkat menjadi hakim konstitusi itu tidak tercela”, tambahnya.
Putusan MKMK yang terbukti melanggar kode etik berat dengan memberikan karpet merah kepada sang ponakan seharusnya Anwar Usman tau diri dan malu masih menyandang jabatan sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Dari sidang etik yang sudah diputus terbukti pelanggaran etik berat, menunjukkan integritasnya sudah tidak terpenuhi sebagaimana dipersyaratkan konstitusi.
Negarawan dalam konstitusi kita sebagai syarat hakim MK, Anwar Usman juga sudah tidak menunjukkan hal tersebut.
“Diputus bersalah pelanggaran etik berat, kok masih mau jadi hakim. Malulah, apalagi ini soal ponakan yang diberi karpet merah, Kalau dia seorang negarawan harusnya dengan suka rela mundur dari jabatannya”, pungkas Herman.
Selain dicopot sebagai ketua MK, Anwar Usman juga dalam amar putusan MKMK dilarang untuk tidak terlibat menangani atau memeriksa perkara yang berkaitan sengketa hasil pemilu dan pilkada. Lalu untuk apa dia duduk di situ, ke depan MK akan dihadapkan pada kasus Pemilu, akan ada Pemilu Presiden, DPR/D, Pilkada. KOPEL Indonesia menilai Anwar Usman akan menjadi beban APBN dengan memakan gaji buta sebagai Hakim MK.
“Gaji Hakim itu besar, tanpa ikut terlibat dalam perkara MK itu namanya makan gaji buta, malulah Pak. Lebih baik mundur saja, itu lebih terhormat”, Tutup Herman. (*)