Industri Perhotelan Sulsel Krisis, Okupansi Anjlok dan PHK Mengancam

0-0x0-0-0#

MAKASSAR,FILALIN.COM,–  Sektor perhotelan di Sulawesi Selatan mengalami tekanan berat akibat rendahnya tingkat hunian yang kini berada di bawah 20%. Kondisi ini membuat banyak hotel terpaksa merumahkan karyawannya hingga lebih dari separuh total tenaga kerja.

 

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga, menyebut bahwa tingkat okupansi yang hanya mencapai 15% telah membuat industri perhotelan berada di titik kritis.

 

“Kami sudah berjuang keras untuk bertahan di angka 15%. Banyak hotel yang harus mengurangi karyawan hingga 65% agar tetap bisa beroperasi. Pemerintah perlu menyadari bahwa sektor ini adalah penyumbang besar bagi pendapatan daerah melalui pajak,” ujar Anggiat dalam konferensi pers, Selasa (25/3).

 

Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sulsel, Suhardi, juga menyoroti dampak luas dari krisis ini. Ia menegaskan bahwa rendahnya okupansi hotel turut memukul sektor-sektor lain yang bergantung pada industri pariwisata.

 

“Bukan hanya hotel yang terkena dampak. Agen perjalanan kehilangan pelanggan, transportasi sepi penumpang, restoran kehilangan pengunjung, dan UMKM yang bergantung pada wisatawan ikut merugi,” kata Suhardi.

 

Sementara itu, Ketua Association of The Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) Sulsel, Abdullah Bazergan, mengungkapkan bahwa meskipun berbagai pelaku usaha telah menurunkan harga layanan mereka, permintaan tetap minim.

 

“Kami sudah menawarkan harga terbaik, tapi daya beli masyarakat terhadap layanan pariwisata masih sangat rendah. Bahkan, banyak pelaku usaha kesulitan membayar tunjangan hari raya (THR) bagi karyawan,” ungkapnya.

 

Di sisi lain, Perwakilan Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Sulsel, Darwinsyah Sandolong, menekankan perlunya intervensi pemerintah untuk menyelamatkan industri ini.

 

“Kami meminta stimulus 50% segera dikucurkan agar sektor pariwisata bisa bertahan. Jika tidak ada bantuan, dampaknya akan semakin luas, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan menurunnya pendapatan daerah,” tegasnya.

 

Para pelaku industri pariwisata membandingkan situasi saat ini dengan krisis ekonomi 1998, di mana UMKM menjadi tulang punggung pemulihan ekonomi. Namun, kali ini perbedaannya lebih tajam, karena sektor perhotelan dan pariwisata yang paling terdampak, sementara UMKM juga mengalami kesulitan akibat turunnya daya beli masyarakat.

 

Mereka berharap pemerintah segera mengambil tindakan agar industri ini tidak semakin terpuruk dan bisa kembali bangkit dalam waktu dekat. (*)