Mengurai Bias Gender dalam Fenomena Orang Ketiga: Mengapa Wanita Selalu Menjadi Korban

MAKASSAR,FILALIN.COM, — Fenomena orang ketiga atau perselingkuhan dalam rumah tangga telah lama menjadi topik yang kontroversial. Di Indonesia, istilah “pelakor” (perebut laki orang) sangat populer dan sering kali menempatkan wanita sebagai pusat kesalahan dalam kasus perselingkuhan. Namun, apakah benar bahwa wanita selalu menjadi pihak yang bersalah dan merusak hubungan rumah tangga? Atau apakah ini hanya refleksi dari bias gender yang masih kental dalam masyarakat kita?

 

Dalam banyak kasus, wanita yang terlibat dalam hubungan dengan pria yang sudah menikah juga bisa menjadi korban manipulasi dan ketidakjujuran. Pria yang berselingkuh sering kali menyembunyikan status pernikahannya dan tidak jarang pula ada wanita yang sudah mengetahui bahwa pria tersebut sudah berkeluarga namun tetap melanjutkan hubungan terlarang tersebut karena diberikan janji-janji palsu tentang masa depan hubungan mereka.

 

Masalah yang sering terjadi adalah adanya suami yang sering berselingkuh dan bergonta-ganti pasangan wanita. Hal ini sering kali tidak disukai oleh istri, yang akhirnya memilih untuk mengajukan gugatan cerai.

 

Menurut penelitian, sebanyak 35% jurnal menyebutkan bahwa salah satu penyebab perceraian adalah perselingkuhan. Bentuk perselingkuhan ini bervariasi, mulai dari sekadar mengirim pesan teks secara daring hingga mencapai hubungan fisik yang intim seperti layaknya suami istri.

 

Beberapa penelitian juga mengungkap bahwa faktor-faktor yang menyebabkan suami atau istri memiliki pasangan lain sering kali disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang memadai dan rendahnya pemahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau istri. Kurangnya pemahaman ini menyoroti pentingnya kesetaraan gender dalam rumah tangga. Dalam hubungan yang setara, tidak boleh ada dominasi patriarki atau beban ganda yang hanya ditanggung oleh salah satu pihak. Kesetaraan gender berarti bahwa peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga harus dibagi secara adil antara suami dan istri. Tanpa pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip kesetaraan gender, konflik dan ketidakpuasan dalam pernikahan lebih mungkin terjadi, yang pada akhirnya dapat memicu perselingkuhan dan perceraian.

 

Selain itu, survei yang dilakukan oleh JustDating menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia sebagai negara yang memiliki kasus perselingkuhan tertinggi yaitu sebanyak 40%. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa perselingkuhan adalah salah satu penyebab utama perceraian di Indonesia. Pada tahun 2022, sekitar 15% dari total kasus perceraian di Indonesia disebabkan oleh perselingkuhan.

 

Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Willard F. Harley, Jr., seorang ahli dalam terapi pernikahan, menunjukkan bahwa pria cenderung berselingkuh karena merasa kurang dihargai atau tidak mendapatkan perhatian emosional yang cukup di rumah . Namun, perlu digaris bawahi bahwa tanggung jawab atas komitmen pernikahan tetap berada di tangan kedua belah pihak, dan tidak adil untuk menyalahkan wanita saja dalam situasi ini.

 

Bias gender dalam menilai kasus perselingkuhan terlihat jelas ketika kita melihat reaksi masyarakat. Wanita yang terlibat dalam perselingkuhan sering kali diberi label negatif seperti “perusak rumah tangga atau perebut laki orang,” sementara pria yang berselingkuh cenderung mendapat simpati atau bahkan dianggap sebagai korban keadaan. Hal ini mencerminkan ketidakadilan dalam memperlakukan wanita dan pria dalam situasi yang sama.

 

*Mengapa Wanita Selalu Menjadi Korban?*

1. Stigma Sosial dan Budaya

Dalam banyak budaya, wanita sering kali dipandang sebagai penjaga moralitas dan kehormatan keluarga. Ketika terjadi perselingkuhan, wanita “pelakor” dianggap melanggar norma-norma ini dan menerima hukuman sosial yang lebih berat dibandingkan pria.

 

2. Ketimpangan Gender

Masyarakat patriarkal cenderung lebih permisif terhadap perilaku pria, termasuk dalam kasus perselingkuhan. Sementara itu, wanita dihakimi lebih keras karena dianggap melanggar peran tradisional mereka.

 

3. Media dan Narasi Publik

Media sering kali menggambarkan wanita “pelakor” dalam cahaya negatif, memperkuat stereotip dan stigma. Ini tentu saja berdampak pada bagaimana masyarakat memandang dan memperlakukan mereka.

 

4. Kurangnya Dukungan Sistemik

Wanita sering kali kurang memiliki akses terhadap dukungan hukum dan psikologis ketika terlibat dalam kasus perselingkuhan, baik sebagai istri sah maupun sebagai pelakor. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap stigma dan tekanan sosial.

 

*Apa dampak dari Bias ini?*

Fenomena orang ketiga dalam rumah tangga tidak hanya merusak hubungan suami istri, tetapi juga memiliki dampak yang luas pada keluarga, terutama anak-anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi konflik dan ketidakstabilan emosional akibat perselingkuhan sering kali mengalami dampak psikologis jangka panjang.

 

Meskipun pria sering kali menjadi pelaku utama perselingkuhan, mereka lebih jarang menerima hukuman sosial yang setimpal. Sebaliknya, wanita, baik sebagai pelakor maupun istri sah, sering kali harus menanggung beban emosional dan sosial yang berat. Istri sah merasa terkhianati dan harus menghadapi tekanan sosial untuk menjaga kehormatan keluarga, sementara pelakor dicemooh dan diasingkan.

 

*Temuan Kasus: Wanita Sebagai Korban dari Dua Sisi*

Setiap tahunnya, kasus perselingkuhan semakin tinggi. Survei di Amerika juga mengungkapkan bahwa dari 441 responden yang telah menikah, terdapat 20% laki-laki yang berselingkuh. Sementara itu, 13% adalah perempuan. Mau apa pun motifnya, selingkuh adalah tindakan yang tak bisa dibenarkan. Tindakan ini pun bisa membawa pelaku dan korbannya ke perbuatan yang lebih kejam, seperti pembunuhan.

 

Seperti kejadian yang terjadi pada kamis, 19 Mei 2022, Jakarta diguncang oleh pengungkapan kasus tragis pembunuhan yang menggetarkan. Dini (27) seorang wanita muda, menjadi korban pembunuhan yang direncanakan dengan kejam oleh Neneng (24), seorang wanita yang diliputi oleh gelombang cemburu yang tak terkendali. Motif pembunuhan ini terkuak ketika Neneng, yang telah menikah dengan suami berinisial ID, merasa terhina dan terguncang oleh hubungan rahasia yang terus-menerus berlanjut antara suaminya dan Dini. Keduanya bekerja sebagai pekerja kebersihan di sebuah gedung perkantoran di Jakarta, tempat di mana ikatan terlarang pun tumbuh di antara mereka.

 

Rencana keji pembunuhan itu dipicu oleh rasa cemburu dan kebencian Neneng, yang semakin berkobar ketika dia menemukan pesan-pesan antara suaminya dan Dini yang membahas rencana ID untuk menceraikannya. Tanpa ampun, Neneng merancang eksekusi pembunuhan hanya sehari sebelumnya. Pada Selasa, 26 April 2022, Neneng menyusun rencana kejam dengan menyamar sebagai saudara ID dan dia mengajak Dini untuk berbuka puasa bersama, menyelimuti niat jahat di balik kedamaian permukaan.

 

Di sebuah lahan terpencil di pinggiran sungai, di kawasan Jatisampurna, Bekasi, Neneng melakukan aksi kejamnya. Dengan benda tumpul dan tajam, dia mengakhiri hidup Dini. Kekejaman itu baru terungkap pada Jumat, 13 Mei 2022, ketika polisi berhasil mengungkap kebusukan di balik kedamaian. Neneng sekarang dihadapkan pada hukuman sesuai dengan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara. Meskipun motifnya berasal dari cemburu, tidak ada kata pengampunan atas kejahatan seberat ini.

 

Dari kasus diatas, kita bisa melihat bahwa seringkali wanita menjadi korban, baik sebagai wanita yang terlibat dalam hubungan terlarang maupun sebagai istri yang dikhianati. Terkadang pula, cemburu dan kebencian diarahkan pada wanita, sementara tanggung jawab dan hukuman atas tindakan tersebut tidak selalu diberlakukan secara adil terhadap kedua belah pihak. Dengan demikian, “wanita sebagai korban dari dua sisi” mencerminkan bahwa wanita mengalami kesulitan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, baik sebagai korban perselingkuhan maupun korban tindakan pembunuhan.

 

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu dalam hubungan untuk memahami bahwa hubungan yang harmonis dan stabil dibangun di atas dasar saling menghormati, komunikasi yang baik, dan pembagian peran yang adil. Dengan menghindari dominasi salah satu pihak dan memastikan bahwa kedua belah pihak merasa dihargai dan didukung, risiko perselingkuhan dapat diminimalkan. Hal ini juga akan membantu menciptakan lingkungan keluarga yang lebih sehat dan bahagia, di mana baik suami maupun istri dapat memenuhi peran mereka dengan seimbang dan saling mendukung.

Penulis: Virginia Nuraulia Syah Rasyid

Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar